PENDAHULUAN :
Guna menciptakan “ good Goverment “ / pemerintahan yang baik. Pemerintah Indonesia bersama-sama dengan DPR R.I. (Dewan Perwakilan Rakyat) mengeluarkan suatu produk hukum yaitu Undang-undang No. 13 tahun 2006. Dan kemudian membentuk lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, mohon untuk selanjutnya disebut dengan LPSK.
Semua ini dimaksudkan seluruh lapisan masyarakat yang mengetahui adanya suatu tindak pidana bersedia memberikan informasi kepada aparat penegak hukum.
Dimana saksi dalam Undang-undang ini setelah memberikan keterangan yang benar tidak lain dari pada yang benar. Apabila diri, keluarganya terancam. Maka dirinya akan memperoleh perlindungan hukum dari LPSK.
PERMASALAHAN :
Baik Susno Duadji, Agus Condro maupun calon-calon “ Whisle Blower “ haruslah bersiap diri terjerat hukum apabila ingin bernyanyi melaporkan suatu tindak pidana. Sekalipun telah memberikan keterangan yang sangat membantu didalam pengngkapan suatu tindak pidana. Kedua “ Whisle Blower “ tidak memperoleh seperti apa yang diharapkan. Keduanya malah terjerumus dalam suatu tindak pidana dan masuk penjara. Kesemua resiko tersebut diatas adalah dikarenakan adanya ambigu Undang undang No. 13 tahun 2006, pada Pasal 10 ayat 1 dan 2.
Sekalipun memperoleh perlindungan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) namun seorang “ Whisle Blower “ tetap rentan untuk terjerumus dinginnya jeruji besi, baik dengan alaan turut serta atau terlibat dalam suatu tindak pidana yang dilaporkan atau tindak pidana lain yang diduga dilakukannya. Dan begitu Whisle Blower dinyatakan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum. Maka perlindungan yang diberikan oleh LPSK tersebut secara mutatis mutandis berhenti dan batal demi hukum. Mengingat perlindungan LPSK hanya diberikan kepada saksi, korban dan pelapor bukan kepada tersangka.
Sehingga niat baik seorang Whisle Blower yang mau mengungkap adanya suatu tindak pidana. Bukannya diberi penghargaan melainkan malah menjadi bumerang yang menghantam dirinya sendiri.
Dengan mendasarkan diri pada ayat 2 pada Pasal 10 Undang-undang No. 13 tahun 2006. Aparat penyidik sangat dimungkinkan menjerat seorang “ Whisle Blower “ untuk dijadikan tersangka dengan sangkaan ikut terlibat dalam tindak pidana atas perkara yang justru dilaporkannya atau tindak pidana lain yang disangkakan kepadanya.
Adapun isi Pasal 10 ayat 1 dan 2 adalah sebagai berikut :
Pasal 10 :
(1). Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdataatas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.
(2). Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
Kalau menyimak kedua ayat diatas. Jelas terlihat antara Ayat 1 dengan ayat 2 terjadi kerancuan / ambigu antara ayat 1 dengan ayat 2. Bukankah sudah diatur secara tegas dalam ayat 1 jika seorang Saksi, korban dan pelapor ... tidak dapat dituntut ... Namun kenapa tiba-tiba didalam ayat 2 muncul kata-kata saksi yang juga tersangka ...
Dimana kata-kata itu mengandung arti bahwa seorang saksi bisa juga dijadikan tersangka. Juga saksi manakah yang dimaksudkan dalam ayat 2 ini ?. mengingat seorang saksi kedudukan hukumnya bisa bermula dari korban, pelapor atau saksi murni. Lalu siapakah saksi yang dimaksudkan disini ?.
Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana selanjutnya kita sebut KUHAP. Terdapat perbedaan kedudukan seorang Saksi :
- Saksi. Seorang saksi bisa meliputi 3 kapasitas kedudukannya yaitu selaku korban, selaku pelapor dan bukan pelapor maupun bukan korban.
Pelapor bisa disebabkan karena dirinya menjadi korban atas suatu tindak pidana.
pelapor bukan korban adalah saksi karena niat baik dan turut serta aktif serta berpartisipasi didalam memberantas kejahatan. Maka orang tersebut melaporkan. Dimana menurut Hukum Pidana, suatu delik yang bersifat laporan adalah setiap orang berhak untuk melaporkan sekalipun diri orang itu bukan korban. Bahkan apabila tidak melapor maka seseorang tersebut bisa memperoleh suatu hukuman apabila kejahatan yang diketahui, didengar, dilihat itu berhubungan dengan nyawa orang lain misalnya.
Saksi bukan korban maupun bukan pelapor. Adalah seseorang dijadikan saksi karena mengetahui, melihat, mendengar sendiri suatu tindak pidana.
Saksi ahli adalah orang yang mempunyai pengetahuan dibidang yang sedang dilakukan penyidikan ataupun penuntutan.
- Korban. Saksi yang melapor karena dirinya menjadi korban suatu tindak pidana. Penyebutan korban dalam proses hukum pidana hanya sebatas pada tingkat penyelidikan. Dalam tingkat penuntutan, Kedudukan korban adalah selaku saksi. Didalam Pasal 184 KUHAP, tidak dibedakan apakah saksi sebagai alat bukti itu kedudukan sebelumnya bermula dari korban, pelapor atau murni selaku saksi.
Sehingga sangatlah dimungkinkan korban oleh aparat penyelidik dijadikan tersangka dengan mendasarkan pada ayat 2.
- Pelapor adalah seseorang yang melaporkan adanya suatu tindak Pidana karena mengetahui, melihat atau mendengar sendiri suatu tindak pidana. Pelapor ini bisa karena dirinya megetahui, mendengar, melihat suatu tindak pidana karena dirinya ikut terlibat ataupun tidak. Dimana dalam KUHAP kedudukannyapun juga berubah menjadi saksi..
Lantas saksi yang mana yang dimaksudkan oleh ayat 2. Apakah semula berkedudukan selaku korban atau selaku pelapor atau selaku Saksi murni, yaitu seseorang yang mengetahui, mendengar atau melihat sendiri atas suatu tindak pidan. Ditambah bukankah sudah diatur dalam ayat 1 jika baik selaku saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut baik secara hukum Perdata maupun secara Hukum Pidana. Kenapa lantas muncul aturan dalam ayat 2 yang memungkinkan seorang saksi bisa dijadikan tersangka ?.
Kerancuan atau ambigu ini membuat aparat LPSK didalam menjalankan tugas dan fungsinya menjadi tidak dapat melakukan secara optimal. Bukan suatu hal yang mengada-ada sifatnya apabila dikatakan suatu ketika LPSK akan gigit jari akibat perlindungan yang diberikannya menjadi perlindungan yang illusoir. Mengingat peran dan fungsinya bisa dikebiri sewaktu-waktu oleh aparat penegak hukum dengan cara merubah status seseorang yang dilindungi LPSK nya, dari semula berstatus saksi dirubah menjadi tersangka.
Seseorang hanya akan memperoleh perlindungan LPSK apabila berstatus sebagai saksi, korban dan pelapor. Perlindungan LPSK secara mutatis mutandis menjadi batal demi hukum apabila statusnya yang sedemikian itu berubah menjadi tersangka.
Dan kalau berjalan seperti itu, jelas animo masyarakat untuk aktif turut serta didalam membantu aparat penegak hukum didalam memberantas tindak pidana khususnya korupsi menjadi menurun dan lambat laun menjadi hilang. Masyarakat sudah pasti akan menjauh dari ranah Whisle Blower. Karena ujung-ujungnya justru hanya akan menyengsarakan dirinya. Dan pemberantasan tindak pidana yang tergolong dalam “White Collar Crime “ melalui saluran ini semakin jauh dari harapan sebagaimana yang dicita-citakan.
Pembungkaman Agus Condro dikarenakan dirinya ikut terlibat dalam tindak pidana yang dilaporkan. Aataupun Susno Duaji yang dilakukan dengan cara mencari-cari kejahatannya dimasa lalu in casu sewaktu dirinya menjadi KAPOLDA Jawa Barat.
Memang suatu hal yang sangat mungkin dilakukan oleh aparat penegak hukum. Sepanjang belum kadaluarsa maka suatu kejahatan apapun bentuknya masih bisa diangkat kasusnya kepermukaan. Sebagaimana kita tahu kadaluarsa sebagaimana yang diatur dalam hukum pidana (Vide Pasal 78 KHUP dan penghitungannya diatur dalam Pasal 79). Suatu Kejahatan / tindak pidana yang ancaman hukumannya maksimal Tiga tahun, kadaluarsa 12 tahun. Ini berarti banyak orang ataupun badan hukum merasa gamang menjadi “ Whistle Blower “, apabila merasa dirinya pernah melakukan suatu tindak pidana lain. Apalagi jika dirinya merasa turut serta dalam tindak pidana yang sedianya akan dilaporkan.
Bunuh diri adalah kata yang tepat. Menjadi Seorang Whisle Blower haruslah bersih, putih bagai seputih kapas dalam arti tidak mempunyai kesalahan hukum apapun bentuknya.
Langka untuk mencari orang sedemikian bersihnya dinegara yang bobroknya sudah sedemikian parahnya.
KESIMPULAN :
Adalah jelas dan harus ayat 2 ini isinya direvisi, bukan saja cukup diatur jika seorang yang menjadi “ Whisle blower “ tidak dapat dituntut baik secara Pidana maupun Perdata atas suatu kasus yang dilaporkannya sebagaimana yang diatur dalam ayat 1. Namun revisi ayat 2 ini haruslah memberikan kepastian hukum jika “ Whisle Blower “ bukan saja tidak dapat dituntut baik secara Perdata maupun Pidana atas perkara yang dilaporkannya. Melainkan juga terhadap suatu tindak pidana yang pernah dilakukannya dimasa lalu yang belum kadaluarsa waktunya.
Dan sudah barang tentu, sebelum dinyatakan dan dilindungi oleh LPSK selaku saksi, korban maupun pelapor. Haruslah diatur secara rinci dan tegas dengan berbagai syarat dan ketentuan termasuk ketentuan berdasarkan asas keseimbangan dan keadilan dan kepatutan maupun asas kemanfaatannya. Demikian pula diatur secara rinci dan tegas sangsi-sangsi hukumnya jika terdapat penyalah gunaan kewenangan yang dilakukan oleh aparat LPSK didalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
Sehingga impian untuk menciptakan aparat yang bersih dan bebas tindak kejahatan yang tergolong dalam White Collar Crime, dapatlah diwujudkan.
Demikian tugas ini dibuat. Atas perhatian dan perkenan bapak untuk mengkoreksi dan sekaligus mengkritisi tulisan ini, kami tak lupa banyak menghaturkan terima kasih. Mengingat tulisan ini banyak kesalahan, baik dalam tata bahasa, maupun isi,maksud dan tujuan yang sebagaimana bapak maksudkan.
Wassalam.