Sunday, February 20, 2011

Ambigu / Kerancuan Undang LPSK No. 13 tahun 2006.

Salam.


PENDAHULUAN :

Guna menciptakan “ good Goverment “ / pemerintahan yang baik. Pemerintah Indonesia bersama-sama dengan DPR R.I. (Dewan Perwakilan Rakyat) mengeluarkan suatu produk hukum yaitu Undang-undang No. 13 tahun 2006. Dan kemudian membentuk lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, mohon untuk selanjutnya disebut dengan LPSK.

Semua ini dimaksudkan seluruh lapisan masyarakat yang mengetahui adanya suatu tindak pidana bersedia memberikan informasi kepada aparat penegak hukum.

Dimana saksi dalam Undang-undang ini setelah memberikan keterangan yang benar tidak lain dari pada yang benar. Apabila diri, keluarganya terancam. Maka dirinya akan memperoleh perlindungan hukum dari LPSK.

PERMASALAHAN :

Baik Susno Duadji, Agus Condro maupun calon-calon “ Whisle Blower “ haruslah bersiap diri terjerat hukum apabila ingin bernyanyi melaporkan suatu tindak pidana. Sekalipun telah memberikan keterangan yang sangat membantu didalam pengngkapan suatu tindak pidana. Kedua “ Whisle Blower “ tidak memperoleh seperti apa yang diharapkan. Keduanya malah terjerumus dalam suatu tindak pidana dan masuk penjara. Kesemua resiko tersebut diatas adalah dikarenakan adanya ambigu Undang undang No. 13 tahun 2006, pada Pasal 10 ayat 1 dan 2.

Sekalipun memperoleh perlindungan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) namun seorang “ Whisle Blower “ tetap rentan untuk terjerumus dinginnya jeruji besi, baik dengan alaan turut serta atau terlibat dalam suatu tindak pidana yang dilaporkan atau tindak pidana lain yang diduga dilakukannya. Dan begitu Whisle Blower dinyatakan sebagai tersangka oleh aparat penegak hukum. Maka perlindungan yang diberikan oleh LPSK tersebut secara mutatis mutandis berhenti dan batal demi hukum. Mengingat perlindungan LPSK hanya diberikan kepada saksi, korban dan pelapor bukan kepada tersangka.

Sehingga niat baik seorang Whisle Blower yang mau mengungkap adanya suatu tindak pidana. Bukannya diberi penghargaan melainkan malah menjadi bumerang yang menghantam dirinya sendiri.

Dengan mendasarkan diri pada ayat 2 pada Pasal 10 Undang-undang No. 13 tahun 2006. Aparat penyidik sangat dimungkinkan menjerat seorang “ Whisle Blower “ untuk dijadikan tersangka dengan sangkaan ikut terlibat dalam tindak pidana atas perkara yang justru dilaporkannya atau tindak pidana lain yang disangkakan kepadanya.

Adapun isi Pasal 10 ayat 1 dan 2 adalah sebagai berikut :

Pasal 10 :

(1). Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdataatas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya.

(2). Seorang Saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

Kalau menyimak kedua ayat diatas. Jelas terlihat antara Ayat 1 dengan ayat 2 terjadi kerancuan / ambigu antara ayat 1 dengan ayat 2. Bukankah sudah diatur secara tegas dalam ayat 1 jika seorang Saksi, korban dan pelapor ... tidak dapat dituntut ... Namun kenapa tiba-tiba didalam ayat 2 muncul kata-kata saksi yang juga tersangka ...

Dimana kata-kata itu mengandung arti bahwa seorang saksi bisa juga dijadikan tersangka. Juga saksi manakah yang dimaksudkan dalam ayat 2 ini ?. mengingat seorang saksi kedudukan hukumnya bisa bermula dari korban, pelapor atau saksi murni. Lalu siapakah saksi yang dimaksudkan disini ?.

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana selanjutnya kita sebut KUHAP. Terdapat perbedaan kedudukan seorang Saksi :

  1. Saksi. Seorang saksi bisa meliputi 3 kapasitas kedudukannya yaitu selaku korban, selaku pelapor dan bukan pelapor maupun bukan korban.

Pelapor bisa disebabkan karena dirinya menjadi korban atas suatu tindak pidana.

pelapor bukan korban adalah saksi karena niat baik dan turut serta aktif serta berpartisipasi didalam memberantas kejahatan. Maka orang tersebut melaporkan. Dimana menurut Hukum Pidana, suatu delik yang bersifat laporan adalah setiap orang berhak untuk melaporkan sekalipun diri orang itu bukan korban. Bahkan apabila tidak melapor maka seseorang tersebut bisa memperoleh suatu hukuman apabila kejahatan yang diketahui, didengar, dilihat itu berhubungan dengan nyawa orang lain misalnya.

Saksi bukan korban maupun bukan pelapor. Adalah seseorang dijadikan saksi karena mengetahui, melihat, mendengar sendiri suatu tindak pidana.

Saksi ahli adalah orang yang mempunyai pengetahuan dibidang yang sedang dilakukan penyidikan ataupun penuntutan.

  1. Korban. Saksi yang melapor karena dirinya menjadi korban suatu tindak pidana. Penyebutan korban dalam proses hukum pidana hanya sebatas pada tingkat penyelidikan. Dalam tingkat penuntutan, Kedudukan korban adalah selaku saksi. Didalam Pasal 184 KUHAP, tidak dibedakan apakah saksi sebagai alat bukti itu kedudukan sebelumnya bermula dari korban, pelapor atau murni selaku saksi.

Sehingga sangatlah dimungkinkan korban oleh aparat penyelidik dijadikan tersangka dengan mendasarkan pada ayat 2.

  1. Pelapor adalah seseorang yang melaporkan adanya suatu tindak Pidana karena mengetahui, melihat atau mendengar sendiri suatu tindak pidana. Pelapor ini bisa karena dirinya megetahui, mendengar, melihat suatu tindak pidana karena dirinya ikut terlibat ataupun tidak. Dimana dalam KUHAP kedudukannyapun juga berubah menjadi saksi..

Lantas saksi yang mana yang dimaksudkan oleh ayat 2. Apakah semula berkedudukan selaku korban atau selaku pelapor atau selaku Saksi murni, yaitu seseorang yang mengetahui, mendengar atau melihat sendiri atas suatu tindak pidan. Ditambah bukankah sudah diatur dalam ayat 1 jika baik selaku saksi, korban dan pelapor tidak dapat dituntut baik secara hukum Perdata maupun secara Hukum Pidana. Kenapa lantas muncul aturan dalam ayat 2 yang memungkinkan seorang saksi bisa dijadikan tersangka ?.

Kerancuan atau ambigu ini membuat aparat LPSK didalam menjalankan tugas dan fungsinya menjadi tidak dapat melakukan secara optimal. Bukan suatu hal yang mengada-ada sifatnya apabila dikatakan suatu ketika LPSK akan gigit jari akibat perlindungan yang diberikannya menjadi perlindungan yang illusoir. Mengingat peran dan fungsinya bisa dikebiri sewaktu-waktu oleh aparat penegak hukum dengan cara merubah status seseorang yang dilindungi LPSK nya, dari semula berstatus saksi dirubah menjadi tersangka.

Seseorang hanya akan memperoleh perlindungan LPSK apabila berstatus sebagai saksi, korban dan pelapor. Perlindungan LPSK secara mutatis mutandis menjadi batal demi hukum apabila statusnya yang sedemikian itu berubah menjadi tersangka.

Dan kalau berjalan seperti itu, jelas animo masyarakat untuk aktif turut serta didalam membantu aparat penegak hukum didalam memberantas tindak pidana khususnya korupsi menjadi menurun dan lambat laun menjadi hilang. Masyarakat sudah pasti akan menjauh dari ranah Whisle Blower. Karena ujung-ujungnya justru hanya akan menyengsarakan dirinya. Dan pemberantasan tindak pidana yang tergolong dalam “White Collar Crime “ melalui saluran ini semakin jauh dari harapan sebagaimana yang dicita-citakan.

Pembungkaman Agus Condro dikarenakan dirinya ikut terlibat dalam tindak pidana yang dilaporkan. Aataupun Susno Duaji yang dilakukan dengan cara mencari-cari kejahatannya dimasa lalu in casu sewaktu dirinya menjadi KAPOLDA Jawa Barat.

Memang suatu hal yang sangat mungkin dilakukan oleh aparat penegak hukum. Sepanjang belum kadaluarsa maka suatu kejahatan apapun bentuknya masih bisa diangkat kasusnya kepermukaan. Sebagaimana kita tahu kadaluarsa sebagaimana yang diatur dalam hukum pidana (Vide Pasal 78 KHUP dan penghitungannya diatur dalam Pasal 79). Suatu Kejahatan / tindak pidana yang ancaman hukumannya maksimal Tiga tahun, kadaluarsa 12 tahun. Ini berarti banyak orang ataupun badan hukum merasa gamang menjadi “ Whistle Blower “, apabila merasa dirinya pernah melakukan suatu tindak pidana lain. Apalagi jika dirinya merasa turut serta dalam tindak pidana yang sedianya akan dilaporkan.

Bunuh diri adalah kata yang tepat. Menjadi Seorang Whisle Blower haruslah bersih, putih bagai seputih kapas dalam arti tidak mempunyai kesalahan hukum apapun bentuknya.

Langka untuk mencari orang sedemikian bersihnya dinegara yang bobroknya sudah sedemikian parahnya.

KESIMPULAN :

Adalah jelas dan harus ayat 2 ini isinya direvisi, bukan saja cukup diatur jika seorang yang menjadi “ Whisle blower “ tidak dapat dituntut baik secara Pidana maupun Perdata atas suatu kasus yang dilaporkannya sebagaimana yang diatur dalam ayat 1. Namun revisi ayat 2 ini haruslah memberikan kepastian hukum jika “ Whisle Blower “ bukan saja tidak dapat dituntut baik secara Perdata maupun Pidana atas perkara yang dilaporkannya. Melainkan juga terhadap suatu tindak pidana yang pernah dilakukannya dimasa lalu yang belum kadaluarsa waktunya.

Dan sudah barang tentu, sebelum dinyatakan dan dilindungi oleh LPSK selaku saksi, korban maupun pelapor. Haruslah diatur secara rinci dan tegas dengan berbagai syarat dan ketentuan termasuk ketentuan berdasarkan asas keseimbangan dan keadilan dan kepatutan maupun asas kemanfaatannya. Demikian pula diatur secara rinci dan tegas sangsi-sangsi hukumnya jika terdapat penyalah gunaan kewenangan yang dilakukan oleh aparat LPSK didalam menjalankan tugas dan kewenangannya.

Sehingga impian untuk menciptakan aparat yang bersih dan bebas tindak kejahatan yang tergolong dalam White Collar Crime, dapatlah diwujudkan.

Demikian tugas ini dibuat. Atas perhatian dan perkenan bapak untuk mengkoreksi dan sekaligus mengkritisi tulisan ini, kami tak lupa banyak menghaturkan terima kasih. Mengingat tulisan ini banyak kesalahan, baik dalam tata bahasa, maupun isi,maksud dan tujuan yang sebagaimana bapak maksudkan.

Wassalam.

Saturday, October 16, 2010

MENYONGSONG 1 ABAD SUMPAH PEMUDA. KOBARKAN SEMANGAT SUMPAH PEMUDA DIDADAMU, KAWAN.

Wouw …. Sudah hampir 1 abad rupanya, sungguh tak terasa kiranya …. Young Celebes, young Java, Young Sumatra … dengan seluruh pemuda seantero jagat bumi pertiwi, mengikarkan Sumpah pemuda sebagai symbol satu kesatuan bangsa. Mrinding seluruh jiwa raga ini kalau membayangkan jiwa yang coba dikobarkan oleh para pemuda pada waktu itu. Menghilangkan seluruh dikhotomi, perbedaan, meminggirkan rasa kedaerahan guna mengikatkan tali menjadi satu, satu jiwa dan satu raga … yang akhirnya bisa tercetuskan satu semangan …. Sumpah pemuda.

Adakah keuntungan materi yang didapat, boro-boro materi, non materipun sungguh tak terbersit dibenak mereka pada waktu itu. Malah mungkin cemohan, sindiran yang didapat. Malah mereka pertaruhkan jiwa dan raganya mengingat mereka merupakan musuh utama kolonial Belanda.

Sehingga tidaklah terlalu absurd kita yakini jika para Pemuda waktu itu didalam menggalang persatuan dan kesatuan bangsa, berkumpul kemudian mendeklarasikan jiwa sumpah pemuda, tak sebersitpun terpikirkan untuk meminta imbal jasa atas seluruh perjuangan dan pengorbanan mereka. Semangat apa yang bisa kuberikan kepada Negara lah yang mendorong, mendobrak segala para pemuda didalam melakukan perjuangannya sampai titik darah penghabisan.

Lihat filmnya Kya Ahmad Dahlan. Bukan karena golongan Muhamadiyah goalnya melainkan semangat dan cita-cita beliaulah yang kita jadikan parameternya jika para pemuda dulu seperti itulah gambarannya, tak mengenal lelah sekalipun kegagalan demi kegagalan yang mereka gapai. Namun asa tetap menyeruak dihati untuk minta ditindaklanjuti.

Satu pikiran, satu asa. Merenda tali persatuan yang ketat erat ditautkan kedalam hati dan jiwa sanubari disetiap insan pemuda, tidak memperdulikan bahkan meminggirkan seluruh kepentingan yang bersifat kedaerahan. Difusi sedemikianlah akhirnya bangsa Indonesia bisa bebas menggapai kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Dan tali inilah yang tetap mengukukuhkan NKRI walau berbagai aral melintang dari satu pemberontakan ke pemberontakan dari satu gerakan didaerah yang ingin melepaskan diri dari NKRI tercinta.

Kini tali persatuan telah genap berusia 82 tahun atau hampir 1 abad gan lamanya.

So what ?.

Wah kalau begitu kan tentunya mau tidak mau kita lantas membandingkan dengan semangat para pemuda maupun eks pemuda pada generasi sekarang, bukan.

Bukan menggosipkan seperti acara infotaiment, yang ghibah hukumnya menurut keputusan MUI. Melakukan perbandingan akan sikap dan semangat antara para pemuda dahulu dengan pemuda sekarang. Dapatlah melahirkan sefrta diharapkan dapat menumbuh kembangkan kesadaran Dan dari itu kita lantas bisa melakukan instropeksi diri. Sudah benarkah kita selaku generasi bangsa didalam mengolah, memperlakukan bumi pertiwi yang tercinta ini. Sehingga dengan demikian kita bisa membenahi, mereorganisasi setiap tindakan dan sehingga pula diharapkan kelak dikemudian hari kita bisa memberikan, mewariskan Indonesia yang lebih baik kepada anak cucu bukan mewariskan Indonesia yang porak poranda, yang terlalu absurd untuk digambarkan, baik secara ekonomi maupun secara tingkah laku serta akhlak dan moral. Dengan demikian baik selaku individu maupun selaku bangsa senantiasa kedudukan serta harkat martabat kita dihormati dimata dunia.

“Sumpah pemuda “, suatu karya yang begitu agung, begitu fenomenal yang pernah dibuat oleh para pahlawan pendahulu kita. Yang belum tentu bisa kalau tidak mau dikatakan “ tidak mampu “ dilakukan oleh generasi sekarang. Bukannya dijaga kelestariannya namun malah diabaikan. Air mata para pahlawan almarhum khususnya pencetus ide “ brilliant “ jelaslah bukan hanya tangis air mata biasa melainkan tangisan darah yang menetes deras. Satu ide “ bahasa Indonesia “, yang dijadikan satu-satunya bahasa resmi Negara Indonesia, sebagai bahasa pemersatu bangsa yang beraneka ragam bahasanya.

Sekarang dengan begitu mudahnya terpinggirkan. Lihat saja media elektronik kita. Semakin hari semakin banyak bahasa Negara lain dijadikan sebagai bahasa sajian bagi suatu acara bagi pemirsanya.

Bangsa kita bukanlah bangsa bersifat rasialisme. Dan itulah tujuannya sumpah pemuda, mempersatukan berbagai ragam suku, daerah, golongan, bahasa dan budaya. Semua dikemas dan dirangkum menjadi satu …. Bahasa Indonesia, bangsa Indonesia. Namun dengan begitu merebaknya bahasa bangsa yang dijadikan bahasa pengantar dibeberapa televisi Indonesia, jelas suatu sikap yang melukai hati para pahlawan.

Belum lagi budaya bangsa lain semenjak era Almarhum Gus Dur. Penyajian dan pertunjukan Budaya asing terasa semakin gencar dipertontonkan ke khalayak ramai. Budaya asing yang setiap tahun disuguhkan guna memperingati hari tertentu setiap tahunnya. Dan lucunya pemainnya kebanyakan bukan bangsa yang memiliki hubungan historical dari kebudayaan itu sendiri. Melainkan dilakukan oleh penduduk pribumi.

Kita memang tidak boleh dan tidak akan pernah bisa bersikap rasial. Namun tidak pada tempatnya jika kita mempertontonkan budaya, bahasa sebagai suatu bentuk yang baku, yang dipertontonkan setiap hari ataupun disetiap tahun secara terus menerus. Indonesia sangat-sangat variatif dan kaya akan budaya dan bahasa. Kenapa tidak budaya dan bahasa daerah, bukankah dengan demikian kita justru bisa mempertunjukan keaneka ragaman khasanah budaya dan bahasa ke berbagai belahan penjuru dunia. Dan justru dengan mengeksploitasi sedemikian akan menambah ketertarikan bangsa lain untuk berkunjung, sehingga arus wisatawan dunia semakin tinggi. Lihat saja Bali. Dimana dengan lugas dan tuntas, daerah itu menawarkan khasanah budayanya. Dan Bali memperoleh tegen prestasi yang luar biasa akibat semakin meningkatnya arus kunjungan wisata dari manca negara yang begitu pesat. Sehingga pendapat secara ekonomi pun semakin dapat ditinggikan pencapaiannya.

Terlebih-lebih jangan gantikan keturunan bangsa Indonesia menjadi bangsa lain penduduknya. Lihatlah Singapura, Malaysia … Penduduk asli di Negara Singapura kalau tidak salah, hanyalah 10 persen dari seluruh warga negaranya. Malaysia, penduduk masih lebih banyak yaitu sekitar 57 persen dari total warga Negara.

Bukanlah mengada-ada sifatnya, kalau kita tidak segera sadar diri. Kelak cepat atau lambat, Indonesia akan mengalami apa yang dirasa oleh bangsa asli Singapura ataupun Malaysia.

Sebab dengan tingkat keluarga berencana yang mulai dicanangkan sekitar tahun 1973. Secara prosentase kependudukan, jumlah penduduk asli mengalami penurunan. Sedangkan bangsa keturunan mengalami peningkatan yang sangat signifikat tingkat kelajuannya.

Penduduk asli Indonesia, setiap keluarga hanya mempunyai 2 anak sebagaimana anjuran Pemerintah. Bahkan ironis apabila mempunyai anak keturunan melebihi 2 untuk pegawai negeri. Maka anak yang ketiga dan seterusnya tidak berhak untuk memperoleh tunjangan sebagaimana yang didapat oleh anak yang pertama dan kedua.

Namun program Pemerintah itu seolah hanya berlaku untuk penduduk asli dan tidak berlaku untuk bangsa keturunan. Lihat saja, setiap keluarga dari bangsa keturunan. Jumlah anak yang dilahirkan bisa 9 orang atau lebih. Sedikitnya lebih dari 2 orang anak yang dilahirkan.

Suatu peledakan penduduk yang tak pernah terpikirkan namun cepat atau lambat, kelak pasti akan memberi dampak negatif bagi perkembangan bangsa Indonesia.

Kita bukannya rasial ataupun menyudutkan bangsa keturunan Indonesia. Sebab bangsa keturunan pun juga mahluk ciptaan Allah. Namun apabila kesadaran itu terlambat datangnnya, bisa saja penduduk asli terpinggirkan menjadi kaum minoritas dinegaranya sendiri. Sudah banyak contoh yang dapat kita lihat selain dua Negara diatas. Suku Amborogin menjadi penduduk minoritas demikian pula suku Indian di Amerika.

Perlulah kita mencontoh Negara Malaysia. Disisi ini, tingkat kesadaran penduduk asli maupun pemerintahannya sudah lebih tinggi sifatnya. Walaupun sudah agak terlambat menurut hemat penulis. Namun setidak-tidaknya pemerintah Malaysia sadar diri, sehingga penduduknya justru diberi kemudahan-kemudahan yang lebih apabila keluarga tersebut mempunyai anak banyak. Demikian pula tingkat kesadaran penduduknya, sehingga tidaklah mengherankan apabila disetiap rumah tangga, terdapat anak yang dilahirkan 4 atau 5 orang anak.

Dan Malaysia sendiri berusaha untuk meningkatkan atau setidak-tidaknya mempertahankan prosentase penduduk pribuminya, sekitar 57 % dari seluruh jumlah warga negaranya. Dan tak heran apabila sampai seorang datuk Anwar Ibrahim dikatakan sebagai “ pengkhianat melayu “ gara-gara idenya yang memberikan persamaan hak bagi setiap warga Negara (maksudnya penduduk melayu dengan keturunan bukan melayu).

Kapan kita melakukan ?????. sebelum terlambat seperti Singapura atau bahkan suku Amborigin di Australia maupun suku Indian di Amerika.

Salam.

Tuesday, September 28, 2010

Tuesday, January 20, 2009

T K I ku sayang, T K I ku malang.

Oleh : Danang Wahyu Widayat, SH.



TKI { Tenaga Kerja Indonesia } dianiaya ..., itu berita biasa. Diperkosa …, banyak beritanya. Membunuh dan dibunuh …, bukan perkara luar biasa. Sekalipun itu kesemua merupakan berita duka dan selalu menyesakan dada setiap kali kita mendengar, melihat, baik melalui media cetak maupun media elektronik. Namun dikarenakan begitu seringnya berita itu disiarkan. Maka berita pilu tersebut lambat laun tak terasa menjadi berita yang biasa. Adalah ada berita yang luar biasa, beritaakan kelakuan para TKI { Tenaga Kerja Indonesia }, para Srikandi kita khususnya yang berada di Malaysia, dimana saat ini penulis juga sedang menetap.

Malaysia sebagai Negara jiran merupakan salah satu Negara distinasi bagi pengiriman tenaga kerja dari Indonesia. Sebagai Negara yang relative kecil luas wilayahnya, dengan jumlah penduduk kurang lebih hanya 26 juta jiwa. Pemerintah Malaysia merasa kekurangan tenaga kerja dan membutuhkan tenaga kerja dari luar negara, bukan saja dari Indonesia melainkan juga dari Negara Pakistan, Banglades, Burma dan lain sebagainya. Sehingga Malaysia yang didominasi tiga bangsa selaku warga negaranya yaitu bangsa Melayu, India dan bangsa Cina. Terasa merupakan Negara Multi nation dan Multi Culture { Beragam bangsa dan budaya }.
Hubungan antar penduduknya bersifat sangat patembayan. Tidak adanya tali silaturahmi antar tetangga. Demikian pula tidak ada aturan atau kewajiban melapor kepemuka daerah setempat dimana kita akan tinggal sebagaimana kelaziman di indonesia.
Sebegitu tingginya nilai individu dijunjung, sampai-sampai Kerajaan { sebutan untuk Pemerintah } Malaysia tidak melarang bahkan memberikan keleluasaan sepenuhnya kepada setiap perusahaan didalam mengatur dan menempatkan para pekerja yang dipekerjakannya. Adalah tidak sedikit kilang-kilang { Pabrik } di Malaysia menempatkan para pekerja khususnya dari Indonesia dalam satu apartemen, baik laki-laki mapun perempuan dicampur jadi satu dan hanya bilik tempat tidur sajalah yang memisahkan.
Dengan ditempatkannya laki-laki dan perempuan pekerja Indonesia dalam satu apartemen. Ataupun dengan adanya kebebasan yang diberikan. Maka hubungan antar pekerja semakin akrab terbina. Mula-mula dengan alasan menghilangkan kepenatan sehabis bekerja. Disamping membunuh rasa sepi, rindu baik akan suami / istri, anak dan keluarga serta rindu akan kampung halaman. Para pekerja kemudian berusaha mencari hiburan. Dan di Malaysia hiburan yang paling digemari adalah hiburan Karaoke. Maka tidaklah heran apabila kita masih menjumpai wanita-wanita pekerja dari Indonesia masih bersama teman laki-lakinya sekalipun waktu telah menunjukan jam 03.00 pagi. Para Srikandi Indonesia yang biasanya terkungkung dengan norma-norma Agama, kesusilaan, kesetiaan. Ataupun memperoleh pengawasan dari tetangga kanan kiri dimana mereka tinggal akan segala sepak terjangnya. Kini begitu bebas melakukan. Sadar ataupun tak sadar kelakuan para Srikandi semakin lama semakin jauh terseret kedalam pergaulan bebas.
Pergaulan bebas yang mula-mula dilakukan dengan laki-laki Indonesia kemudian bertambah luas hubungannya dan semakin profisional. Para Srikandi tidak segan melakukan dengan laki-laki dari bangsa lain sepanjang ada uang maka abang akan saya sayang. Tidak perduli bangsa Melayu, India ataupun dari bangsa Cina, yang penting uang. Uang adalah segalanya. Bahkan para Srikandi rela menjadi istri simpanan. Negara Malaysia tidak melarang adanya Poligami, dengan mencari “ penghulu pasar “, “ Nikah batin “ pun dilakukan. Maka tidaklah heran jika mendapati Srikandi Indonesia melahirkan anak yang berkulit layaknya kulit orang dari India atau bermata sipit karena ayah biologisnya keturunan Cina. Dan pernikahan batin sedemikian dilakukan berulang-ulang dalam kurun waktu dan dengan laki-laki yang berbeda, sehingga banyak diantara mereka semasa tinggal di Malaysia, telah melakukan tidak kurang dari tiga atau empat kali pernikahan. Tokh suami, anak dan keluarganya tidak ada yang tahu atas perbuatan yang dilakukannya. Dan akibatnya para pekerja Kilang { Pabrik } yang memperoleh cap sebagai wanita “ gampangan “. Coba saja bertanya kepada salah satu warga Malaysia tentang tingkah laku para srikandi kita yang bekerja dikilang-kilang.

Meskipun demikian, walau belum pernah melakukan penelitian. Setidak-tidaknya Penulis masih berkeyakinan jika masih lebih banyak lagi srikandi-srikandi kita yang bekerja secara normal didalam mengeruk pundi-pundi ringgit demi masa depannya dengan tak lupa mengindahkan Norma-norma Agama, kesusilaan dan kesetiaan terhadap pasangannya yang berada di Indonesia. Namun bukan berarti sepak terjang para Srikandi Indonesia yang terlibat dalam pergaulan bebas dapat toiler. Pemerintah harus sesegera mungkin melakukan pembenahan disana-sini. Dengan melakukan intervensi kepada PJTKI { Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia } sewaktu membuat MOU [ Master of Understanding }. Pemerintah Indonesia melalui Departemen Tenaga Kerja memaksa agar didalam MOU dicantumkan pasal-pasal yang mengatur tempat tinggal dan batasan waktu bagi para pekerja untuk keluar masuk dari apartemen sewaktu mereka cuti { libur } dan tak lupa dicantumkan pula sangksi apabila aturan tersebut dilanggar. Dimana pengawasannya bisa diserahkan kepada perusahan yang merekut ataupun PJTKI atau dilakukan oleh pegawai baik dari Kedubes Indonesia di Malaysia ataupun dari Departemen Tenaga kerja Indonesia sendiri. Sehingga diharapkan nantinya jika pengiriman tenaga kerja baru bukanlah berarti melakukan pengiriman “ sayur baru “ bagi warga Malaysia. Kata yang menyakitkan bukan. Namun itu bukan salah warga Malaysia penulis yakin melainkan itu salah kita sendiri.
Disamping memberikan pembekalan agama, cinta akan tanah air, sangatlah mutlak haruslah dilakukan sebelum para tenaga kerja berangkat menuju Negara tujuan. Juga secara berkala, Departemen Tenaga Kerja bekerja sama dengan Departemen Agama ataupun atau kedutaan besar Indonesia di Malaysia memberikan penyuluhan dan bimbingan Agama kepada seluruh pekerja.


Sebab kalau sampai terlambat dilakukan atau malah tidak dilakukan sama sekali. Maka akan berapa banyak kita merusak gadis dan wanita lugu yang nota bene adalah harta karun kita. Dan berapa banyak anak haram yang akan dilahirkan di Indonesia. Bukankah kebanyakan Srikandi-srikandi yang bekerja dikilang-kilang [ Sebutan pabrik di Malaysia } berasal dari desa-desa atau kota-kota kecil di Indonesia. Dimana biasanya Srikandi-srikandi ini hidup dalam taraf kehidupan ekonomi yang tidak begitu baik. Dengan kebebasan dan uang yang cukup banyak dalam waktu yang relatif cepat didapat. Mereka mengalami apa yang disebut dengan istilah “ Shock Culture “. Seakan kuda lepas dari pingitan, para Srikandi seolah baru pertama kali menikmati indahnya kehidupan. Seakan dunia telah berada didalam genggaman. Wajah-wajah lugu telah hilang dan berganti dengan modern dengan rambut yang dicat dan Hanphone sebagai tentengan. Mereka lupa diri, lupa kehidupan lain dilain belahan dunia sedang menanti mereka, suami dan anak-anaknya. Dan untuk itu sudah saatnya mereka disadarkan jika perbuatan mereka keliru. Sudah saatnya mereka dibangunkan dari mimpi hitamnya. Mengingat dipundaknyalah terletak nama baik bangsa dan Negara khususnya nama baik wanita Indonesia. Sehingga selain bisa mengangkat taraf ekonomi baik bagi dirinya sendiri ataupun bagi keluarganya. Mereka dapat berguna berguna bagi nusa dan bangsa mengingat jasanya bagi negaranya karena memberikan kontribusi bagi penambahan devisa juga dikarenakan telah mengurangi beban negara, Pengangguran.


Penulis adalah seorang Pengacara yang tinggal di Jogja.
Namun saat ini sedang tinggal di Malaysia.





Monday, January 19, 2009

Name : Danang Wahyu Widayat, SH.
Email Address : alf_ismy_elf@yahoo.com
Blog : Danangwwidayat.blogspot.com
Contact Person : 014926184
Home address : 1175 Jalan BBN 6/2f, Taman Desa Cempaka 71800,
Nilai Negeri Sembilan

Professional Experience :
More than 100 cases have been handeled and more than 90 % won. Big cases have been, such as :
1. Represent Internationan labour Case in Sragen, Jawa Tengah Indonesia. Represent an Indonesia Labour againt Arabic an employer.
2. Represent client in Regional election, Klaten, jawa Tengah. On Administration Court Semarang, Jawa Tengah.
3. Represent Client againt Bupati Jawa Tengah on Private Cases.

4. Represent client from Gapeknas Salatiga. Againt Kapala Departemen Pekerjaan Umum Salatiga.

5. Indonesia Election in Private cases in Jakarta, election on 1999.